Sunday, May 2, 2010

Menelusuri Jogja, Kota Budaya

- 6 November 2010 -

Draft tulisan ini sudah saya tulis sejak lama, tapi belum sempat diposting. Saya baru teringat tulisan ini hari-hari terakhir kemarin, saat puncak-puncaknya Merapi meletus. Sampai hari inipun masih terus mengikuti perkembangan Merapi, yang saya dengar abunya sudah sampai Ungaran bahkan Bandung dan Bogor. Lalu apa hubungan Merapi dengan tulisan ini? Sesuai judulnya, tulisan ini saya tulis setelah perjalanan ke Yogya. Yang saya pikir adalah kota yang meninggalkan kenangan lebih dalam dibanding kota lain yang pernah saya kunjungi. Bahkan Singapura sekalipun.

- The story begin -
Saya berangkat ke Jogja hari Rabu sore dengan kereta wisata. Yups, this is my first time using this kind train. Saya kesana dalam rangka closing project dengan salah satu operator telekomunikasi. Rombongan sekitar 30-an orang, terdiri dari temen kantor dan customer. Rada kagok juga baru datang sudah disambut dan diminta menunggu di ruang VVIP stasiun Gambir (biasanya pas mudik apa, kalau untung ya bisa duduk di bangku kalau kagak ya ngemper di lantai cuy). Naik ke gerbong dibantu kopernya oleh mbak/mas pramugari (di kereta istilahnya pramugari juga ga sih? Ga mudeng aku). Di dalam gerbong ada tempat duduk berjajar (sama seperti KA eksekutif umumnya), ruangan meeting bersofa, makan malam prasmanan, mini restoran dan karaoke. Harganya? Jangan ditanya, saya puasa makan 6 bulan saja mungkin belum cukup buat nyewa rodanya. Sampai di stasiun Tugu Jogja sekitar pukul satu malam. Paginya, meeting seharian hingga pukul lima sore. Sebenarnya dari jadwal meeting awal selama 2 hari. Tapi akhirnya dimampatkan jadi sehari. Sisanya dipakai jalan.
Beberapa tempat yang saya kunjungi di Jogja :


Rumah Makan “Mang Engking” – Kastil Soragan
Malam pertama di Jogja, rombongan makan di Mang Engking. Pertamanya saya pikir masakan khas Jawa, eh ternyata seafood. Batinku, seafood mah burakan di Jakarta ngapain juga jauh-jauh kesini cuma makan seafood. Nyatanya saya jilat ludah sendiri (tapi mending daripada jilat ludah orang :P), ternyata makannya enak (mungkin karena kebawa laper juga) dan tempatnya asli top markotop. Kenapa dinamakan kastil? Karena bangunan fisiknya memang kastil. Yups, kastil yang persis di film–film British itu. Di sebelah kanan kiri ada kolam-kolam ikan dan taman. Cuma satu kata, keren.

Museum Ullen Sentalu
Dapat rekomendasi dari teman kantor untuk mengunjungi museum ini. Dan benar, sama sekali ga menyesal. More than I expected. Rombongan hanya satu mobil yang semua terdiri teman kantor with no customer. Bisa bebas ngakak – ngakaklah sepanjang jalan. Museum ini ada di daerah Kaliurang, memasuki daerah Kaliurang cuaca tiba – tiba berawan. Akhirnya kami buka jendela mobil lebar - lebar. Segar hawa sekitarnya, karena secara geografis letaknya memang di atas. Sempat nyasar lewat villa – villa dengan bangunan asli jaman Belanda. Dari papan di depannya langsung tahu kalau villa ini disewakan 25ribu/malam (hah?? emang ada yang iseng mau nginap disitu). Nuansa spooky-nya kentara abis, bahkan ada salah satu villa yang di depannya masih ada kereta jaman dulu dengan taman ilalang setinggi badan (hii~~, udah ah jadi merinding).

Sampai di museum, kami terpisah karena beberapa teman cowok harus nyari masjid untuk sholat jumat. Sisa 4 orang termasuk saya yang memutuskan untuk touring masuk museum duluan. Harga tiket masuk 25ribu untuk dewasa, untuk orang asing dewasa 50ribu (sampai sekarang saya kurang mengerti alasan diskriminasi harga tiket di tempat wisata untuk orang asing kenapa selalu lebih mahal). Sedangkan pelajar cukup merogoh dompet 15ribu saja. Ternyata touring museum ada jadwal jamnya, jadi kita tidak langsung nyelonong masuk seenak udel dan yang pasti akan ditemani guide (tanpa ongkos tambahan). Kami menunggu sekitar 5 menit dan diberi wejangan dari petugas kalau dilarang keras ambil foto di dalam museum, alhasil kami jepret – jepret sebentar di depan sebelum dipanggil guide tour kami.

Memasuki museum, mbak Tiwi (nama guidenya-red) menjelaskan history-nya museum ini dan termasuk juga sejarah awal mula 4 keraton di Jawa Tengah yang merupakan pecahan dari kerajaan Mataram. Di museum terdiri dari beberapa ruangan yang memiliki nama dan arti. Setiap memasuki ruangan kami pasti disambut dengan sesajen bunga yang diletakkan di pojok ruangan (ngiik, ngiik, ngiiik, asli merinding disco). Dalam tiap ruangan dipasang lukisan - lukisan raja dan keluarga Keraton, dan ditata serial sehingga kami berjalan runut berdasarkan sejarah kejadiannya. Di setiap lukisan, mbak Tiwi menjelaskan kejadian maupun tokoh yang berhubungan dengan lukisan tersebut. Sejarah kenapa kerajaan Mataram pecah menjadi 4 (Kasunanan Surakarta, Pakualaman, Mangkunegaraan dan Ngayogyakarta). Dan kenapa Kasunanan Surakarta sekarang memiliki 2 raja, yang konon sampai sekarang masih perang dingin. Yang utamanya disebabkan Paku Buwono XII tidak mengangkat permaisuri, yang disebabkan lagi karena Ibu-nya (Ibu Suri) masih tetap ingin berkuasa di kerajaan. Makin lama makin tertarik, di samping mbak Tiwi yang menjelaskan dengan halus, runut dan open sekali jika kami bertanya. Benar – benar serasa masuk ke jaman dulu kala.

Ada salah satu ruangan yang dikhususkan untuk seorang putri Raja yaitu Gusti Ayu Siti Nurul. Ruangan ini ibarat timeline hidup beliau dari muda hingga tua (kalau tidak salah beliau sekarang masih hidup). Konon dulu sewaktu muda beliau terkenal sebagai putri yang cantik, cerdas, modern dan pandai berkuda (ga pake suka menabung dan hapal pancasila). Dan pernah dilamar presiden Soekarno dan Sultan HB IX, tapi ditolak karena tidak ingin dipoligami.

Ruangan lain, berisi seluk beluk batik. Tentang makna motif dari batik. Saya sendiri bari ngeh kalau motif itu ada artinya! Motif parang untuk berperang, tidak boleh dipakai untuk pernikahan karena bisa perang terus nanti pernikahannya. Motif Rama Sinta untuk pernikahan, bermakna agar langgeng seperti pasangan Rama dan Sinta. Motif bulat yang bermakna panjang umur, karena bulat diibaratkan tanpa titik akhir.

Oiya, ada satu lukisan yang tiap saya ingat pasti merinding gimaanaa gitu. Lukisan itu adalah gambar tarian 9 orang yang dipentaskan hanya pada saat pengangkatan atau ulang tahun raja. Dari cerita mbak Tiwi yah, konon penciptanya adalah Nyai Roro Kidul sehingga pada saat dipentaskan ada yang percaya dapat “bonus” penari satu lagi yaitu Nyi Roro Kidul itu sendiri (--sumpah merinding). Nama tarian itu Bedaya Ketawang (baru tau dari googling). Penari – penari itu haruslah perawan (suci badan dan hati) dan sebelum menari harus puasa terlebih dahulu. Selain penari pada saat pentas ada abdi dalem 2 orang di pinggir lapangan (halah!), yang berfungsi bertugas membetulkan pakaian penari apabila jatuh atau nyrimpet pada saat menari. FYI, penari tidak boleh melakukan APAPUN selain menari selama 2-3 jam nonstop. Hanya menari, menari dan menari. Selama pentas penonton juga tidak boleh bicara, makan, tepuk tangan apalagi bergosip sambil ngupil. Big No, No.

Touring museum akhirnya selesai sekitar satu jam, dan sebelum keluar kami melewati arca – arca asli yang salah satunya adalah Ganesha. Dewa Ilmu Pengetahuan dalam agama Hindu. Ganesha ini berwujud manusia berkepala gajah dan berperut besar yang konon di dalamnya untuk menyimpan segala ilmu pengetahuan. Mbak Tiwi sempat nyeletuk, semakin buncit perut orang semakin pintar orang itu. Ah, si mbak emang paling pinter nyenengin hatiku. Hehehe…

Satu lagi yang membuat terkesan dari museum ini, kami dapat minuman hasil resep dari Keraton yang mana berkhasiat menjadikan tubuh sehat dan kuat (emang Scout Emultion ajah yang bisa, hehe). Di luar hawa spooky museum ini (saya pasti jalan di depan atau tengah rombongan pada saat touring, ga mau paling belakang :D ), yang pasti saya punya banyak alasan yang membuat saya ingin kembali berkunjung kesini. Asli, high recommended dan wajib dikunjungi.


Rumah Makan “Jejamuran”

Ini satu lagi alasan saya menyukai Jogja, masakan jamur! Pulang dari museum sempat bingung mau makan dimana. Akhirnya kang Ali rekomen makan di Jejamuran. Lokasinya di Jalan Raya Magelang, sampai di perempatan Beran Lor kalau dari arah Jogja belok kanan sekitar 600 meter. Seperti namanya rumah makan ini menawarkan menu berbagai macam makanan olahan dari jamur (kecuali jamur kaki lho yee, kagak ada yang doyan itu mah). Karena udah pada kelaperan ditambah bingung semua pada milih makanan apa, akhirnya hampir 2/3 list menu dipesen semua. Ckckck, sadis. Daann, senangnya disini ga pake lama. Ga sampe 5 menit setelah pesan makanan udah datang. Kayaknya sih makanannya sudah diolah lebih dulu. Dan ga sampe 5-10 menit, makanannya abis. Hahaha… Semuanya enak, sumpah. Menu dedemenan saya : Sate Jamur, Jamur Tiram Goreng Tepung, Tongseng Jamur dan Lumpia Jamur. Uniknya rasa satenya seperti sate asli, tongsengnya seperti tongseng asli, dan lumpianya benar – benar berasa lumpia rebung. Mungkin kalau ambil analoginya itu seperti KW-1 makanan aslinya. Dan dijamin di resto ini kita ga akan merasa boring dan garing, karena ada live music acapela disini!! No ngamen, no bencong feat gitar betot. Sampai salah satu teman kantor ikut geleng – geleng kepala dan nyanyi “Hotel California” saking asyiknya. Untuk harganya, murah meriah jor – joran (halah). Satu porsi 8ribu perak. Minus nasi dan minum yaah, hanya masakan jamurnya saja. Tapi kalau menurutku itu mah udah murah gila harganya. Dengan rasa dan suasana resto yang “jempol dua” seperti itu. Saya sempat bilang ke kang Ali yang dulunya kuliah disini (di Jogja-red, bukan di Jejamuran :P), “ini bener nih harganya, murah emen?”. Dia jawab, “ini salah satu tempat nongkrongnya mahasiswa. Dan di Jogja emang makanan murah – murah buk, kalau jual makanan mahal ga bakalan laku”. Logis juga sih, Jogja kan memang salah satu kota “pengimpor” mahasiswa terbanyak di Indonesia. Dan seperti prinsip saya sewaktu jd mahasiswa dulu, seperak dua perak itu sama artinya dengan taruhan nyawa. Hahaha…

Menu ajib lain yang bisa dicoba di resto Jejamuran ini : Soup Jamur, Rendang Jamur, Telur Dadar Jamur, Tom Yam Jamur, etc. Tak lupa pulangnya beli kripik jamur tiram untuk camilan di kosan nanti :D









a Malioboro Street + Pusat Bakpia

Jalan paling terkenal di Jogja. Sore hari pulang dari Jejamuran langsung menuju ke Malioboro. Sepanjang jalan ini dihiasi pedagang – pedagang di trotoarnya. Dari batik, tas, sepatu, gantungan kunci, perhiasan emas dll. Harganya murah, malah bisa ditawar sadis kalau tega. Saya sih ga terlalu niat beli batik disini, dan sepanjang jalan liat batik mlulu malah makin ga niat. Saking banyaknya pilihan mungkin yah, malah terlihat “biasa – biasa” saja. Akhirnya di Malioboro cuma beli miniatur sepeda kuno dari kayu. Oleh – oleh buat Bapak pas pulang nanti, karena beliau suka sekali koleksi sepeda kuno. Pusing muter Malioboro, akhirnya nyewa becak menuju pusat Bakpia. Murah, pulang-pergi hanya 5ribu perak! (tidak pake saus, tidak pake sambal, yang banyak baksonya. Halah!). Malah abangnya nawarin sampai ke pusat kaos Dagadu tanpa ongkos tambahan. Nawarinnya dengan sedikit memaksa secara halus bahkan sampai memohon – mohon. Kenapa bisa seperti itu, tanya kenapa? Bukan, bukan karena pengin lebih lama bersama dirikyu, tapi si abang becak ini sudah punya “gentlemen agreement” dengan pihak toko atau pembuat oleh – oleh. Sebutlah si abang sebagai pihak pertama, dan pemilik usaha oleh – oleh sebagai pihak kedua. Jadi setiap pihak pertama mengantar turis atau pengunjung ke toko milik pihak kedua, maka pihak kedua akan memberi komisi pada pihak pertama. Begitulah alur kronologisnya dan flow loopingnya. Bisa dikatakan sebagai contoh simbiosis mutualisme dalam kehidupan sehari-hari. Karena kita ga niat ke Dagadu dan sudah capek akhirnya langsung balik ke Malioboro. Si abang kita kasih tips lebih, yah hitung – hitung mengganti kesedihannya karena gagal “menggiring” kita ke pihak kedua :P


Rumah Makan Gudeg Wijilan “Mbak Lies”

The last but not least, tak lengkap ke Jogja tanpa mencoba Gudeg. Yuiii, makanan asli khas Jogja yang terkenal seantero jagad raya. Salah satu daerah yang terkenal dengan gudegnya adalah jalan Wijilan. Dan jangan kaget jika di sepanjang jalan beraneka rupa resto yang menawarkan Gudeg. Kanan kiri jalan orang buka warung Gudeg. Tapi pilihan tempat makan jatuh di Gudeg Wijilan “Mbak Lies”. Secara kasat mata yang membuatnya istimewa dengan gudeg wijilan lain yaitu tempatnya. Gudeg Mbak Lies ini bangunan dan interior rumah makannya persis (hampir menyerupai asli) rumah adat Jawa. Jadi makan disini serasa makan di rumah jawa jaman dulu. Dengan furniture hampir semuanya kayu dan dihiasi foto – foto tempoe doeloe. Untuk rasa gudegnya yah seperti gudeg umumnya. Isinya telur, sayur nangka (dimasak manis), krecekan, ayam dan tempe bacem.


Keraton Jogja + Alun – alun Selatan

Pulang dari makan di Gudeg Mbak Lies, driver kami mengarahkan mobil melewati alun – alun dan keraton Jogja. Hanya lewat saja sih, ga mampir. Di tengah alun – alun ada dua pohon beringin (di museum mbak Tiwi pernah bilang keduanya punya nama, tapi saya lupa). Mas Driver-nya cerita konon jika orang ditutup matanya dan bisa melewati jalan diantara dua beringin itu hingga tembus maka segala keinginannya terkabul. Wallahu ‘alam yah. Saya sebagai Muslim sih kurang percaya karena nyerempet berbau musrik. Di depan keraton banyak disewakan sepeda jejer 2-3 dan becak – becakkan imut (huuu, pengeeen). Next time kalau kesana lagi harus nyobain :D