Wednesday, February 18, 2009

Indahnya Bersyukur

Seandainya blog ini bisa bicara, mungkin dia minta dibumihanguskan saja. Saya memang harus belajar lebih banyak tentang makna eksistensi menulis. Karena dari pemikiran saya yang dangkal, arti eksistensi adalah posting blog sebulan sekali. Ya, hanya satu kali. Hahaha...


Bersyukur : Part 1

Berawal dari wacana sore hari pas temen2 kantor ngumpul buat liat foto-nikahan-adik-sepupu saya. FaQ yang sering muncul dari temen2 saya, "Itu adik kamu?; udah nikah ya?; kelahiran tahun berapa?; berarti kamu diloncatin dung?". Hah, pertanyaan terakhir bikin saya sempet gondok tujuh keliling *eh, itukan pusing yah*. Ya, ya...di usia saya yang 2 tahun lagi sudah seperempat abad belum ada kemajuan berarti tentang kisah asmara saya. Halah, lebay emen... Tapi saya tidak sendiri kok, karena hampir semua teman satu bagian di kantor belum nikah juga. Meski jujur, pertanyaan itu bikin ganjel di hati. Apalagi jika ingat pertanyaan keluarga besar saya, "kapan mau nyusul adiknya?". Saya cuma bisa kasih senyum dikit, "InsyaAllah, doakan saja yah...". Make it simple baybeh, meski tetep aja kepikiran hingga kini *hiks*. Di tengah obrolan tentang nikah, salah satu temen sempat berujar, "let it flow aja, jangan terlalu dijadiin beban buat nikah. Jodoh pastilah ada kok, kalau saatnya datang pasti dikasih keberanian dan kesiapan buat nikah". Nice, saya catut qoute-nya. Hehehe. Sebenernya ada qoute lagi dari temen cewek laen, "Kalau target saya nikah sih 4 tahunan lagi lah". Jiaah, saya ga bakalan catut tuh qoute. 4 tahun lagi gitu looh. Padahal usia dia setahun lebih tua dari saya. 4 tahun lagi? udah bangkotan dan jadi ninek2 saya. Gyahaha. Yaps, pada akhirnya-pun saya bersyukur. Mungkin saya masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dulu sebelum menghabiskan sisa hidup saya bersama orang yang nantinya akan jadi jodoh saya. Saya masih bisa bersyukur karena Allah masih memberi kesempatan saya untuk meluangkan waktu bagi bapak ibu dan keluarga saya, kesempatan untuk membahagiakan mereka. Saya bersyukur, karena saya masih ada kesempatan untuk melimpahkan kasih sayang untuk sepupu dan keponakan saya yang masih kecil2. Yah itung2 training dulu, hehehe. Ya, sampai detik ini saya akhirnya bersyukur.


Bersyukur : Part 2

Minggu ini saya dipusingkan dengan rencana untuk melanjutkan kuliah. Saya cukup bingung harus memilih antara 2 universitas swasta, sebut saja universitas A dan B. Sebenarnya dua2nya punya nama, yah paling tidak berstatus “terakreditasi” bukan “terdengar”. Universitas A untuk jurusan yang saya nanti ambil terakreditasi A, universitas B harus puas menempati urutan kedua dengan akreditasi B *halah*. Sebenarnya hati saya sudah menjatuhkan pilihan ke universitas A, but the problem is : saya ga ada teman. Yaps, teman2 kantor yang seperjuangan ingin lanjut kuliah lebih interest ke universitas B. Pertimbangan mereka adalah lebih mudah lulus. Disini saya mulai merasa bimbang. Agak berat jika saya harus berjuang sendiri ambil gelar S1, tapi tak ada teman yang bisa backing saya. Bukan apa2, dengan adanya teman saya bisa lebih enjoy kuliah dan tentu saja gampang cari contekan kalau ada tugas dari dosen. Hehe. Sampai sekarang saya juga belum bisa menentukan, akan memilih yang mana. Bagi saya masalah lanjut kuliah sifatnya penting. Saya tdk mau main2 asal menjatuhkan pilihan, yang bisa saja nantinya akan membuat saya kecewa. Ya, ya... hidup adalah pilihan bung. Melulu pilihan. Yang selalu membuat kita bingung untuk memilih yang mana. Yang selalu membuat kita uring-uringan karena takut salah pilih. Yang membuat saya berpikir kenapa saya selalu saja diharuskan memilih? Tapi sesaat kemudian saya merenung. Merenung besok mo makan apa? (loh! Bukan, bukan itu). Sebuah perenungan panjang yang membuat saya akhirnya lagi – lagi harus bersyukur. Bahwa pilihan itu adalah sebuah anugerah. Bayangkan saja jika kita tidak bisa memilih. Kita akan dipaksa untuk tertuju kepada satu hal, karena memang tidak ada pilihan lain. Menyedihkan. Mungkin memang akan lebih memudahkan kita, tapi malah dengan adanya pilihan kita diberikan kesempatan untuk membandingkan, memilih dengan hati. Apa yang kita butuhkan, bukan hanya yang kita inginkan. Jadi, please jangan golput saat pemilu nanti. Hahaha, ga nyambung... :d


Bersyukur : Part 3

Sudah seminggu ini saya pasang wallpaper Song Hye Gyo di laptop. One of my fav actress. Terakhir kali pasang wallpaper artis Korea klo ga salah pasangan Gong Yoo dan Yoon Eun Hye di CP. Setelah itu, ganti – ganti ga jelas. Well, dunno kenapa saya menyukai Hye Gyo. Cuma cantiknya terlihat sangat natural...terlepas gosip dia oplas apa enggak. Unfortunately, Hye Gyo ternyata tidak terlalu disukai di negara aslinya sono, Korsel. Tanya kenapa sodara2... Karena dia P-E-N-D-E-K. What?? Come on... Nasib si Hye Gyo persis sama seperti saya. Dalam hal apa dulu nih? Sik talah, jangan berprasangka dulu. Hehe. Ini saya curhat colongan critanya ;P Entahlah, karena memang postur tubuh saya juga sering dijadikan bahan lelucon dan obrolan ditemani teh hangat di sore hari. Saya bener – bener jengah dibuatnya. Kenapa harus fisik yang disinggung? Tak jarang bikin saya bete, bete, bete ah... then untungnya tidak terlalu berlarut. Saya teringat kata – kata ibu saya di kampung. Bahwa manusia harus selalu bersyukur atas segala apa yang ada pada dirinya, termasuk fisik juga. Dulu saat kecil saya sering protes kenapa rambut saya kriting-ga-jelas, selalu di depan ibu saya. Karena memang ibu saya berambut lurus. Saya dapat keturunan kriting dari bapak, jadi demi menghindari pertumpahan darah dan daripada saya tidak diakui anak, saya tidak pernah protes ke bapak. Ibu selalu, selalu dan selalu bilang, “Sampeyan harus selalu bersyukur, dek. Bagus gitu loh rambutnya. Kalau ga nrimo trus, brarti menghina Yang Nyiptain rambutnya Gusti Alloh...”. Setelah mendengar kata – kata itu, saya terdiam. Tapi besoknya sudah lupa dan protes lagi, hahaha. Setelah dewasa, makna kata – kata itu selalu terngiang jika saya kurang percaya diri dengan fisik saya. Pasti kita pernah bukan, ketika suatu saat kita merasa tidak cantiklah, tidak tinggilah, tidak kayalah, tidak pinterlah. Manusiawi sekali. Bahwa ada rasa kurang pada diri kita ketika kita melihat ke atas, melihat orang lain yang lebih dari kita. Tetapi jangan lupa untuk selalu lihat ke bawah, kita semestinya patut bersyukur bahwa masih ada orang yang tidak seberuntung kita. Tidak ada yang sempurna kecuali Sang Maha Pencipta Segala. Dengan keterbatasan tinggi badan, saya masih punya tangan untuk mencari rejeki dan membantu sesama, saya masih punya kaki untuk membawa saya berkeliling dunia (amiin), saya masih bernafas dengan normal, saya masih bisa mendengar suara adzan subuh yang membangunkan saya menjelang pagi, saya masih bisa merasakan makanan hasil dari jerih payah saya. Lalu alasan apalagi yang membuat saya harus menyesali diri dan tidak bersyukur? Subhannallah, alhamdulillah... Terima kasih Ya Alloh...


Bersyukur : Part 4

Aarrrgghh!!! Badan saya membengkak. Entah kenapa yah, setiap orang yang lulus kuliah lalu bekerja selalu disertai tanda2 obesitas. Saya punya alasan konkrit tentang hal ini. Karena obyek penelitian memang saya sendiri. Dulu sewaktu kuliah ada jargon, awal bulan berjaya akhir bulan merana. Setelah tanggal 15 bulan ke atas, masalah finansial dianggap krusial sekali. Habislah mahasiswa yang doyan foya2 di awal bulan. Karena dipastikan setengah bulan berikutnya dia akan menangis berdarah - darah karena harus putar otak nyari cara untuk menyambung hidup. Pengecualian kasus untuk anak orang kaya, yang tinggal wahing (bersin-red) aja keluar duit dari hidungnya. Keluarga saya tidak kaya. Bapak pensiunan, ibu bekerja sebagai guru. Dan harus menanggung pengeluaran 3 orang makhluk yang berstatus mahasiswa. Saya dan kedua kakak saya hanya dikirimi uang sebulan sekali. Cukup hanya untuk makan dan keperluan materi pendukung kuliah. Saya tidak pernah meminta lebih, malu. Membayangkan ibu saya banting tulang untuk membiayai kuliah saya saja sudah sesak nafas. Apalagi sampai menggunakan uang dari beliau hanya untuk foya2. Sekarang alhamdulillah, sudah bisa cari uang sendiri. Sayangnya setelah bekerja saya malah menyepelekan urusan makan. Jarang sekali sarapan, hanya makan siang dan malam itupun tidak teratur. Alhasil beberapa minggu yang lalu saya terkena maag akut. Awalnya lambung yang perih, tapi yang tidak tertahan adanya rasa sakit di ulu hati. Saya langsung terkapar di sudut tempat tidur. Rasanya benar2 menyesal kenapa harus menyepelekan urusan makan. Setelah sempat periksa ke dokter, ada pantangan makan pedes, asem dan susu. Kapok kena maag lagi, saya mulai jaga waktu makan. Dikit2 makan, dikit2 makan, lha kok ujug2 melar. Dari kalkulasi sementara berdasarkan penambahan lingkar perut dan lengan, sepertinya naik 2-3 kilo. Mulai pertimbangkan buat olahraga ini, tapi sayangnya kok yoo abis subuhan mesti kedua mataku ini ga bisa diajak kompromi. Kapan - kapan aja mungkin yah lari2nya, kalau udah naik 2-3 kilo lagi. Hehehe... Untuk sekarang harus bersyukur sudah diberi sehat lagi. Sekarang maagnya sudah jarang datang lagi. Masih bersyukur penyakitnya tidak mengarah ke tipes atau radang di lambung atau usus. Semoga saja tidak. Memang benar kata orang, kalau kita tidak akan pernah merasakan enaknya duduk sebelum pernah berdiri, tidak akan pernah merasakan betapa nikmatnya sehat sebelum pernah merasakan sakit. Dan alhamdulillah saya sudah diingatkan, betapa kesehatan mahal harganya. Sekalipun betapa sibuknya waktu untuk bekerja jangan lupa untuk makan dan menjaga kesehatan. Terakhir, saya persembahkan kutipan qoute manis dan indah dari Cheng2xpo, “Hiasilah hidupmu dengan senyum dan kue - kue...”.


*Tulisan terakhir dedicated to Dika yang baru keluar dari RS karena tipes. Jaga kesehatan yah say... jangan lupa waktu makan meski terus dikejar deadline*